Sebuah insiden tragis terjadi di Yogyakarta ketika seorang mahasiswi asal Kalimantan Barat menjadi korban penyiraman air keras oleh mantan pacarnya. Mahasiswi perguruan tinggi swasta Daerah Istimewa Yogyakarta berinisial N menjadi korban penyiraman air keras ketika hendak beribadah di Malam Natal, Selasa (24/12/2024). Mirisnya otak tindak pidana ini adalah mantan pacarnya tengah menempuh S2 di universitas swasta di Yogyakarta. Korban mengalami luka serius, dan insiden ini memicu kemarahan masyarakat serta tuntutan terhadap perlindungan perempuan dari kekerasan.
Kejadian ini bermula dari putusnya korban N dan pelaku B pada Agustus 2024 lalu. Keduanya berasal dari Ketapang, Kalimantan Barat dan sudah berpacaran sejak 2021. Tidak terima di putus, pelaku B melalui media sosialnya mencari seseorang yang bisa bekerja apa saja. Postingan ini di tanggapi S pada 12 Desember dan keduanya lantas berkomunikasi via aplikasi pesan. kos korban di daerah Gondokusuman, Atas arahan B, pada Selasa pukul 18.30 WIB, S sendirian mendatangi kos dan mendapati korban habis mandi karena akan beribadah Natal.
S langsung menyiramkan air keras yang di wadahi gelas plastik jumbo ke korban N yang masih menggunakan handuk setengah badan. Akibatnya wajah, dada, dan tangan mengalami luka bakar serius. Saat ini korban mendapatkan perawatan intensif.
Kasus ini memicu kemarahan dan simpati luas di media sosial. Tagar seperti #StopKekerasanTerhadapPerempuan dan #JusticeForVictims langsung menjadi tren, dengan banyak netizen menyerukan keadilan untuk korban dan hukuman berat bagi pelaku. Berbagai organisasi perempuan dan LSM di Yogyakarta juga turut mengecam insiden ini. Mereka menuntut perlindungan lebih baik bagi perempuan dan pemberian sanksi tegas bagi pelaku kekerasan berbasis gender.
Kasus ini menyoroti pentingnya perlindungan hukum bagi korban kekerasan dalam hubungan personal. Indonesia sebenarnya telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), tetapi implementasinya masih menjadi tantangan.
Para ahli hukum menyerukan perlunya edukasi lebih luas tentang undang-undang ini, sehingga masyarakat, terutama perempuan, dapat memahami hak-haknya dan melaporkan kekerasan tanpa takut akan stigma atau intimidasi. Korban saat ini masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Selain pemulihan fisik, korban juga memerlukan dukungan psikologis untuk mengatasi trauma yang di alaminya. Berbagai komunitas dan lembaga telah menawarkan bantuan hukum dan konseling kepada korban.
B sendiri di tangkap pertama kali pada Selasa malam usai polisi mendapatkan keterangan dari korban. Sempat tidak mengaku di datangi, polisi akhirnya menemukan bukti kuat dari handphone milik S satunya yang sempat di buang. Dari sini polisi akhirnya menciduk S yang berasal dari Kuningan di kosnya. Kami menjerat kedua pelaku dengan pasal berlapis atas tindak kejahatan terencana yaitu pasal 355, 354, 353, dan 351 KUHP tentang penganiayaan berat dengan ancaman minimal 12 tahun penjara,” kata Kasat Reskrim Kompol Probo Satrio.