Tambang Nikel di Raja Ampat Bukan Kontributor Utama Ekonomi Papua Barat Daya

Kontributor Utama Ekonomi Papua Barat Daya

1. Esensi Geografi & Status UNESCO Geopark

Raja Ampat, bagian dari Papua Barat Daya, di kenal sebagai UNESCO Global Geopark dengan keanekaragaman hayati laut luar biasa—75 % spesies karang dunia dan lebih dari 1.500 spesies ikan—dan mengandalkan sektor pariwisata bahari sebagai tulang punggung ekonomi lokal .

2. Tambang Nikel yang Ada & Kontribusi Ekonomi

Saat ini hanya PT Gag Nikel (Aneka Tambang) yang beroperasi di Pulau Gag—luar zona geopark—dengan kuota produksi hingga 3 juta ton per tahun. Empat lainnya telah di cabut izinnya karena melanggar regulasi lingkungan .

Namun dari segi ekonomi daerah, kontribusi pendapatan dari sektor pertambangan ini relatif kecil di bandingkan PAD dari ekowisata, yang tercatat mencapai Rp 150 miliar per tahun dengan sekitar 30.000 kunjungan wisatawan, 70 % di antaranya mancanegara.

3. Risiko Lingkungan dan Dampak terhadap Pariwisata

Penambangan telah menyebabkan deforestasi di lebih dari 500 ha hutan di tiga pulau (Gag, Kawe, Manuran), mengakibatkan sedimentasi dan kerusakan terumbu karang.
Kerusakan ini sangat mengancam ekowisata—sumber utama pendapatan masyarakat adat—sehingga DPR dan pemerintah pusat evaluasi ketat kegiatan tambang di wilayah konservasi .

4. Penolakan dan Evaluasi Regulator

Masyarakat adat, terutama dari distrik Waigeo Barat, serta organisasi seperti AMAN dan Greenpeace, menolak keberadaan tambang nikel —mengkhawatirkan kerusakan ekologi dan budaya lokal—serta menuntut pencabutan izin. Penolakan ini didukung oleh besarnya dampak negatif yang potensial di bandingkan manfaat ekonomi jangka pendek .
Pemerintah pun telah mencabut izin empat perusahaan besar dan menangguhkan operasional sampai kajian berjalan, sementara PT Gag Nikel di awasi ketat dalam upaya rehabilitasi, pemantauan lingkungan, dan konservasi terumbu karang serta penyu.

Meskipun ada satu tambang nikel yang aktif, kontribusinya terhadap ekonomi lokal tidak sebanding dengan sektor ekowisata yang jauh lebih besar.
Tambang justru menimbulkan risiko lingkungan tinggi—mulai dari kerusakan karang hingga sedimentasi air—yang berpotensi menurunkan kunjungan wisata dan menekan pendapatan masyarakat.
Oleh karena itu, opsi terbaik adalah memprioritaskan pariwisata berkelanjutan, dan jika tambang tetap dilakukan, perlu batasan ketat, penegakan regulasi, dan kompensasi lingkungan yang nyata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *